Namanya Dewi Astuti, usianya 33 tahun. Ia lahir dengan kondisi cerebral palsy, membuat kedua kakinya lumpuh dan tangannya hanya bisa bergerak terbatas. Sejak kecil, ia harus menggunakan kursi roda. Tapi keterbatasan fisik tak menghalanginya bermimpi besar. mg4d Dan kini, di sebuah desa terpencil di Nusa Tenggara Timur, Dewi membuktikan bahwa seorang wanita difabel bisa jadi cahaya bagi masa depan generasi bangsa.
Ia bukan hanya bertahan hidup. Ia mendirikan sekolah gratis untuk anak-anak miskin dan putus sekolah. Sekolah yang ia bangun dengan cinta, air mata, dan tekad baja.
Mengharukan: Ditinggal Ayah, Dihina Karena Cacat
Sejak usia 6 tahun, Dewi sudah merasakan kerasnya hidup. Ayahnya meninggal karena malaria, ibunya bekerja sebagai buruh cuci. Tetangga-tetangganya menganggap Dewi “kutukan”, bahkan beberapa menyarankan agar ibunya menyerah membesarkan anak cacat.
“Dulu saya sering dikatain beban. Bahkan teman-teman seumur saya gak mau main sama saya,” kenang Dewi dengan suara pelan. “Tapi ibu saya selalu bilang: kamu bukan beban, kamu anugerah.”
Itulah kata-kata yang selalu Dewi bawa dalam hatinya. Ia belajar dengan keras, walau harus digendong ibunya ke sekolah setiap hari.
Menggugah: Mimpi yang Tidak Mati
Meski miskin dan cacat, Dewi punya semangat luar biasa. Ia lulus SMA dengan nilai tertinggi di kabupatennya. Ia lalu mendapat beasiswa penuh ke salah satu universitas di Surabaya, jurusan Pendidikan.
Namun kuliah pun bukan tanpa tantangan. Banyak fasilitas kampus yang tidak ramah difabel. Tapi Dewi tidak mengeluh. Ia aktif di organisasi sosial, membuat gerakan “Kaki Hati” — komunitas mahasiswa difabel dan relawan yang mengajar anak-anak di kolong jembatan dan daerah kumuh.
Saat lulus S1, Dewi mendapat tawaran kerja di kota. Tapi ia memilih pulang ke kampung halamannya di Desa Haumeni, tempat ratusan anak tidak bisa membaca karena tidak ada sekolah yang memadai.
“Saya ingat masa kecil saya. Kalau saya bisa baca dan tulis, mereka juga harus bisa,” ujarnya mantap.
Menginspirasi: Sekolah dari Bambu dan Semangat
Dengan bantuan warga desa dan sumbangan kecil dari para relawan, Dewi mulai membangun sekolah darurat dari bambu dan seng bekas. Ruangannya hanya satu, lantainya tanah, bangkunya seadanya. Tapi semangatnya tak kalah dari sekolah elite.
Ia menamai sekolah itu: “Sekolah Pelita Bumi” — karena ia ingin anak-anak di sana menjadi cahaya bagi tanah mereka sendiri.
Setiap pagi, Dewi naik kursi roda manualnya menyusuri jalan berbatu sejauh 1 km. Ia mengajar membaca, menulis, berhitung, bahkan memberikan pelajaran sains sederhana dengan alat peraga buatan sendiri. Anak-anak memanggilnya “Bu Guru Malaikat”.
Awalnya hanya ada 8 murid. Tapi dalam dua tahun, jumlahnya naik menjadi 57 anak. Mereka datang dari desa-desa sekitar, bahkan ada yang berjalan kaki 5 km setiap hari.
Menghebohkan: Diundang ke Istana Negara
Kisah Dewi mencuat ke publik setelah seorang jurnalis lokal mengunggah video tentang aktivitasnya. Video itu viral. Media nasional menyorot perjuangannya. Ribuan komentar netizen membanjiri postingan tersebut.
Tak lama kemudian, Presiden RI mengundangnya ke Istana Negara untuk menerima penghargaan “Kartini Masa Kini”.
Dewi datang mengenakan kebaya sederhana, ditemani ibunya. Saat berdiri di panggung, ia berkata:
“Jangan nilai saya dari kaki saya yang lumpuh. Nilailah dari kaki-kaki kecil anak-anak yang kini bisa berjalan menuju masa depan.”
Tepuk tangan menggema. Tangis haru tumpah dari mata para tamu undangan. Seorang menteri bahkan menawarkan bantuan untuk membangun sekolah permanen untuknya. Tapi Dewi hanya meminta satu hal: akses air bersih untuk desanya dan buku-buku untuk muridnya.
Sekolah yang Terus Tumbuh
Kini, Sekolah Pelita Bumi memiliki 4 ruang kelas, 2 guru tambahan, dan ratusan koleksi buku donasi. Masyarakat desa bahu-membahu menjaganya. Anak-anak yang dulu tak bisa membaca, kini sudah menulis puisi dan menggambar mimpi mereka.
Dewi masih mengajar setiap hari. Walau tubuhnya ringkih, semangatnya justru menguatkan banyak orang. Ia juga mengajarkan anak-anak untuk percaya diri, berbicara di depan umum, dan mencintai tanah air mereka.
“Saya tidak punya kaki yang kuat, tapi saya ingin mereka punya langkah yang mantap,” ucapnya tegas.
Penutup: Lebih dari Sekadar Guru
Dewi Astuti bukan hanya seorang guru. Ia adalah simbol harapan, kekuatan, dan kemanusiaan. Dalam keterbatasan fisiknya, ia menunjukkan bahwa cinta dan keberanian bisa mengubah dunia — bahkan dari desa terpencil yang nyaris terlupakan.
MG4D:
- Mengharukan, karena Dewi berjuang dari ketidakmungkinan menuju kemuliaan.
- Menggugah, karena ia menantang semua persepsi tentang disabilitas dan kemiskinan.
- Menginspirasi, karena ia mengubah rasa sakit menjadi pelayanan.
- Menghebohkan, karena kisahnya menembus batas desa, kota, hingga ke Istana Negara.
“Saya tidak ingin dikenang karena kursi roda saya,” ujar Dewi.
“Saya ingin dikenang karena anak-anak yang saya bantu bisa berdiri sendiri.”
Dan lewat suara-suara kecil yang kini fasih membaca, dunia tahu bahwa keajaiban tak harus datang dari kaki yang sempurna — cukup dari hati yang tidak menyerah.